Politik dan agama dalam Islam tak bisa dipisahkan. Keduanya bagaikan dua saudara kembar dari ibu yang sama. Islam tidak menganggap raja dan Paus sebagai kekuatan yang terpisah. Dengan kata lain, Islam tidak mengakui perbedaan sosial antara kedaulatan negara dengan pemimpin religius karena perbedaan didasarkan pada ketakutan dan kecintaan pada Allah. Sebaliknya, Islam mengatakan semua ciptaan adalah Kerajaan Allah, umat manusia mempunyai peran khalifah (wakil) Allah, dan harus menjaga kedamaian, disiplin dan ketertiban di bumi ini, serta harus berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Islam tidak mengakui hak-hak istimewa berdasarkan kasta, keyakinan, dinasti atau antara pria dan wanita. Semua sama di depan Allah dan semua harus mentaati dan menyembah Allah. 

Masa Kekhalifahan Abbasiyah adalah masa keemasan peradaban Islam. Cendekiawan Muslim dari seluruh dunia berkumpul di Istana Abbasiyah dan menyumbangkan pengetahuan mereka untuk memperkaya dunia ilmu pengetahuan. Saat itu, cendekiawan yang memberi sumbangan terbesar sebagai ahli politik dan ekonomi adalah al-Mawardi, yang sekarang dianggap sebagai ilmuwan besar dalam politik dan ilmu politik. Perkembangan intelektualitas selama era ini sangat luar biasa dan yang termaju selama sejarah Islam. 

Sebagai salah satu tokoh intelektual besar di masanya, alMawardi terkenal sebagai ahli politik Islam pertama, dan sejajar dengan ahli politik besar Abad Pertengahan, yakni Nizam al-Mulk, Ibnu Khaldun dan Machiavelli. Dari jabatan qadi (hakim), dia mendapat promosi sebagai Duta Besar untuk Khalifah dan menyelesaikan banyak masalah politik di negaranya. Atas perintah Abu 'Ali Hasan bin Dawud, Al-Khatib Baghdadi menulis bahwa masyarakat Basra selalu bangga pada dua negarawan mereka dan karya-karya mereka: Khalid bin Ahmed (wafat 175 H) dengan tulisannya Kitab al-Amin, Sibawayh (wafat 180 H) dengan Kitab anNahw, dan al-Jahiz (wafat 225 H) dengan al-Bayan at-Tabyin'. Selain mereka, al-Mawardi bisa ditambahkan sebagai yang keempat, sebagai juriconsult dan ahli ekonomi politik di Basra dengan karya monumentalnya al-Ahkam as-Sultaniyyah yang merupakan karya besar literatur politico-religius Islam. 

Ali bin Muhammad bin Habib Abul Hasan al-Mawardi dilahirkan di Basra tahun 1058 M dari keluarga Arab yang membuat dan menjual air mawar, sehingga diberi nama 'al-Mawardi.' Dia menerima pendidikan di Basra dan belajar yurisprudensi dari ahli hukum Shaf'i, Abul Qasim as-Samari. Lalu dia melanjutkan ke Baghdad untuk pendidikan tinggi, terutama mempelajari yurisprudensi, tata bahasa dan sastra. Dia segera menjadi ahli studi Islam, termasuk Hadits, yurisprudensi, politik dan etika. 

Setelah menjabat sebagai qadi di berbagai tempat, dia ditunjuk sebagai Qadi al-Qudat (Hakim Agung) Ustuwa, sebuah distrik di Nishapur. Tahun 1049, dia mendapat kenaikan jabatan sebagai Qadi 'al-Qudat (Ketua Mahkamah Agung) di Baghdad, posisi yang dijabatnya sampai kematiannya tahun 1058 M. Selain keputusannya di banyak kasus menjadi contoh utama hakim-hakim lain di dekade berikutnya, keputusan yang tegas untuk banyak masalah hukum dipakai sebagai pepatah selama beberapa abad. 

Al-Mawardi juga penulis yang cakap mengenai beragam topik seperti agama, etika, sastra, dan politik. Khalifah al-Qadirbillah memberinya penghargaan tinggi dan Khalifah Qa'im bin Amirullah (391-460 H), Khalifah Abbasiyah ke-26, menunjuknya sebagai Duta Besar untuk beberapa misi diplomatik ke negara-negara satelit di Sekitarnya. Kebijaksanaannya sebagai negarawan berhasil mempertahankan prestise Kekhalifahan Baghdad padahal lebih kecil di antara amir-amir Saljuk dan Buyid yang terlalu kuat dan hampir Independen, dan dia sering menerima hadiah berharga dari amir-amir tersebut, sehingga kekayaannya melebihi orang lain di kelas sosialnya. Walaupun dituduh oleh banyak orang menganut kepercayaan theologis Mu'tazillah, tetapi penulis-penulis selanjutnya menyangkalnya. 

Sudah diketahui umum kalau al-Mawardi mengikuti aliran pemikiran yurisprudensi Shaf'i dan seorang Muhaddith (penyebar Hadits) terkenal. Walaupun tak satu pun tradisi Hadits yang ditulisnya masih bertahan, tetapi banyak Haditsnya yang dikutip dalam karya terkenalnya, Ahkam as-Sultaniyya, Adan ad-Dunya wa-Din dan Alam an-Nubuwah, yang disebut terakhir menunjukkan keahlian al-Mawardi sebagai Muhaddith. Sebagai Mufassir (pengulas Alqur'an), al-Mawardi juga menempati posisi istimewa di antara golongan lama mufassirin, dengan ulasannya berjudul Nukat al-Uyum yang bisa dibandingkan dengan ulasan dari al-Qushairi, ar-Razi, alIsfahani dan al-Kirmani. Meskipun al-Mawardi dituduh oleh beberapa orang karena menulis ulasan yang mirip dengan pandangan Mu'tazillah, tetapi Imam ibnu Taymiyya menganggapnya sebagai salah satu ulasan paling menentukan dalam sejarah.

Al-Mawardi juga menulis sebuah buku yang mirip dengan AlQur'an, yang menurut Imam as-Sayuti, adalah buku pertama dalam topik ini. Al-Mawardi mengatakan tentang arti penting buku ini: 

Salah satu ilmu Alqur'an yang utama adalah ilmu perumpamaan atau kemiripan. Orang mengabaikannya karena mereka sudah puas dengan perhatian mereka terhadap kemiripan dan tidak melihat kesamaan yang disebutkan dalam kiasan. Kemiripan tanpa kesamaan bagaikan seekor kuda tanpa kekang atau unta tanpa tali kekang. 

Walaupun tak pernah menjadi mahasiswa reguler ilmu politik, al-Mawardi adalah ahli ekonomi politik, dan yenulis religius yang cerdas. Tulisan-tulisan politik dan religiusnya mempengaruhi penulispenulis untuk topik tersebut di masa mendatang. Empat buku utamanya tentang ilmu politik adalah: al-Ahkam as-Sultaniyya (Hukum Pemerintahan), Adab al-Wazir (Etika Menteri), Siyasah alMalik (Politik Raja), dan Tahsil an-Nasar (Pendukung Keberhasilan Penyerbuan). Jika Ahkam as-Sultaniyyah berisi Hukum Publik Islami, Adab al-Wazir berhubungan dengan fungsi Perdana Menteri dan menekankan pada saran pelaksanaan Administrasi Publik yang efektif, yang merupakan salah satu tulisan terbaik di bidang tersebut. 

Al-Mawardi cukup istimewa sebagai ahli politik pertama dalam Islam yang berpengaruh. Pengaruhnya bisa dibandingkan dengan Siyasat Nama oleh Nizam al-Mulk atau Muqaddimah oleh Ibnu Khaldun. Sebagai ahli politik utama dalam Islam, tulisan-tulisannya serta pengalaman praktisnya dalam politik terserap dalam perspektif politik penulis-penulis sesudahnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama