Edumuslim.org - Apa itu saudara sepersusuan? Saudara sepersusuan adalah ikatan persaudaraan yang disebabkan karena adanya dari dua orang atau lebih menyusu pada seorang ibu yang sama, meskipun asalnya mereka terlahir dari rahim yang berbeda. Saudara sepersusuan ini merupakan mahram berdasarkan hadits:

عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنْها، عن رَسُول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ»

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Persusuan itu menyebabkan terjadinya hubungan mahram, sama seperti mahram karena nasab.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Syarat-Syarat Hubungan Mahram Karena Penyusuan


1. Jumlah Penyusuan Yang Menjadikan Mahram

Para ulama berbeda pendapat menjadi empat kelompok tentang jumlah penyusuan yang menjadi patokan dalam hubungan kemahraman dan yang dengannya hukum penyusuan menjadi berlaku.

Pertama: Haram Dengan Satu Kali Penyusuan Atau Lebih

Ini adalah pendapat jumhur ulama: Abu Hanifah, Malik, satu riwayat dari Ahmad, pendapat Ibnu al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Qatadah, al-Auza‘i, ats-Tsauri, dan al-Laits. Mereka berargumen sebagai berikut.

1. Keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala:

 وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ

“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan saudara-saudara perempuanmu sesusuan.” (Surat an-Nisa’: 23)

2. Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 إِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ

“Sesungguhnya penyusuan (yang menyebabkan hubungan kemahraman) itu hanyalah yang terjadi karena lapar.” (Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5102) dan Muslim (1455).

3. Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 يَحْرُمُ مِنَ الرِّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena penyusuan sama dengan yang haram karena nasab.”

4. Hadits ‘Uqbah bin al-Harits radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku menikahi seorang perempuan, lalu datang seorang (budak) perempuan berkulit hitam kepada kami dan berkata, ‘Aku pernah menyusui kalian berdua.’ Maka aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, ‘Aku menikahi si fulanah binti fulan lalu seorang (budak) perempuan berkulit hitam mendatangi kami dan berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya aku  pernah menyusui kamu berdua.’ Dia itu pembohong.’ Beliau berpaling dariku, maka aku datangi beliau dari arah depannya dan berkata, ‘Sesungguhnya dia itu pembohong.’ Beliau pun bersabda,

 كَيْفَ بِهَا وَقَدْ زَعَمَتْ أَنَّهَا قَدْ أَرْضَعَتْكُمَا دَعْهَا عَنْكَ

‘Bagaimana bisa (kamu menuduh) dia begitu padahal dia telah menyatakan bahwa dia benar-benar telah menyusui kalian berdua. Tinggalkanlah fulanah itu.” (Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2659), at-Tirmidzi (1151), dan an-Nasa’i (3330)

Mereka (pendukung pendapat ini) mengatakan bahwa di dalam nash-nash di atas dan selainnya tidak disebutkan jumlah tertentu dari penyusuan.

5. Mengenai riwayat-riwayat --yang akan disebutkan nanti-- yang membatasi pada angka tertentu jumlah penyusuan yang mengharamkan, mereka menjawab bahwa riwayat-riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha itu berbeda-beda dalam penyebutan angkanya, maka wajib merujuk ke angka terkecil yang ditunjukkan oleh istilah penyusuan.

6. Dari ‘Amru bin Dinar bahwa dia pernah mendengar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ditanya oleh seorang laki-laki tentang apakah satu atau dua kali penyusuan itu menyebabkan hubungan kemahraman. Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Yang kami tahu kalau saudara perempuan sepenyusuan itu pasti haram.” Lalu seorang laki-laki berkata, “Amirul Mukminin --maksudnya: Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu-- mengatakan bahwa satu kali atau pun dua kali penyusuan tidaklah menjadikan mahram. (Bagaimana)?” Maka Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketetapan Allah jauh lebih baik daripada ketetapanmu dan ketetapan Amirul Mukminin.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: ‘Abd ar-Razzaq (VII/467) dan al-Baihaqi (VII/458)

7. Mengingat penyusuan itu perbuatan yang terkait dengan pengharaman selama-lamanya, maka jumlah penyusuan tidak menjadi patokan seperti halnya pengharaman ibu istri.
Kedua: Haram Dengan Tiga Kali Penyusuan Lebih.
Ini riwayat yang ketiga dari Imam Ahmad dan pendapat ulama Ahlu azh-Zhahir --kecuali Ibnu Hazm--, serta yang dipegangi oleh Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur dan Ibnu al-Mundzir. Mereka berargumen sebagai berikut.

1. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ

“Satu atau dua kali isapan (dalam penyusuan) itu tidak mengharamkan (menjadikan mahram).” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1450), Abu Daud (2063), at-Tirmidzi (1150), an-Nasa’i (VI/101), dan Ibnu Majah (1941)

2. Hadits Ummu al-Fadhl radhiallahu ‘anha dia berkata, “Seorang arab badui masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang saat itu sedang ada di rumahku, lalu berkata, ‘Wahai Nabiyullah, aku sudah punya seorang istri lalu aku menikah lagi dengan perempuan lain. Kemudian istri pertamaku mengaku bahwa dia pernah menyusui istri mudaku satu atau dua kali penyusuan.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَالْإِمْلَاجَتَانِ

Satu dua kali isapan (dalam penyusuan) itu tidak menjadikan mahram.” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1451), Ahmad (VI/339), dan al-Baihaqi (VII/455)

Al-Imlajah adalah ar-radh‘ah (isapan susuan). Demikian disebutkan di dalam kamus.

3. Mereka juga beralasan bahwa hal apapun baik angka dan pengulangan yang menjadi patokan padanya, maka angka tigalah yang dijadikan patokannya.

Ketiga: Haram Dengan Lima Kali Penyusuan Lebih. Ini pendapat asy-Syafi‘i, riwayat yang masyhur dari Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, dan yang dipegang oleh ‘Atha’ dan Thawus, serta yang diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Mas‘ud dan az-Zubair radhiallahu ‘anhum. Argumen pendapat ini adalah sebagai berikut:

1. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata, “Di antara yang diturunkan dari (ayat) al-Qur’an dahulu adalah ‘sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi menjadikan mahram’. Kemudian (ayat itu) dimansukhkan dengan lima kali penyusuan, hingga akhirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, sementara ayat itu masuk dalam ayat-ayat yang dibaca dari al-Qur’an.” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1452), dan Abu Daud (2062).

An-Nawawi berkata, “Makna hadits ini adalah bahwa ayat yang menasakhkan dengan lima kali penyusuan itu sangat belakangan turunnya hingga menjelang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Sebagian sahabat ada yang membaca ayat ‘lima kali penyusuan’ ini dan menganggapnya bagian dari al-Qur’an yang harus dibaca karena belum sampainya berita penasakhan itu kepadanya karena dekatnya dengan waktu meninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika penasakhan itu sampai kepada mereka setelahnya, mereka pun menghentikan membacanya dan sepakat bahwa itu tidak dibaca.”

Penulis berkata: Ini termasuk ayat-ayat al-Qur’an yang bacaannya mansukh tetapi hukumnya tetap berlaku sebagaimana halnya ayat tentang rajam.

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan dalam sebagian jalur hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan kisah Sahlah binti Suhail radhiallahu ‘anha di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,

 أَرْضِعِي سَالَماً [خَمْسَ رَضَعَاتٍ] فَيَحْرُمُ بِلَبَنِهَا

“Susuilah Salim [lima kali penyusuan] sehingga dia jadi mahram dengan air susunya.” (Tidak shahih dengan penyebutan jumlah penyusuan. Dikeluarkan dengan lafazh ini oleh Abdurrazzaq (13886), Malik (1284), dan Ahmad (VI/201). Sanad-sanadnya tidak muttashil, tetapi asalnya ada di dalam riwayat Muslim (1453) dan selainnya dengan lafazh “susuilah dia sehingga dia menjadi mahrammu” dengan tanpa penyebutan jumlah)

3. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Kurang dari lima kali penyusuan yang dimaklumi tidak menjadikan mahram.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: ad-Daruquthni (IV/183)

Keempat: Hanya Sepuluh Kali Penyusuan Lebih Yang Menjadikan Mahram. Pendapat ini diriwayatkan dari Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma.

1. Dari Salim radhiallahu ‘anhu bahwa Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha mengirim dirinya yang masih menyusu kepada saudara perempuannya, Ummu Kultsum binti Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, dan berkata, “Susuilah dia 10 kali penyusuan sehingga dia boleh menemuiku.” Salim radhiallahu ‘anhu berkata, “Ummu Kultsum pun menyusuiku tetapi hanya tiga kali penyusuan karena setelah itu dia sakit. Dia tidak pernah lagi menyusuiku selain yang tiga kali itu. Maka aku pun tidak bisa menemui Aisyah (sebagai mahram) karena Ummu Kultsum tidak genap menyusuiku sampai sepuluh kali.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Malik di dalam al-Muwaththa’ (1278), Abdurrazzaq (VII/469), dan al-Baihaqi (VII/457)

Dari Shafiyah binti Abu ‘Ubaid radhiallahu ‘anha, [istri Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma] “bahwa Hafshah Ummul Mukminin mengirim ‘Ashim bin Abdullah bin Sa‘ad --yang masih menyusu-- kepada saudara perempuannya, Fathimah binti Umar bin al-Khaththab, agar dia menyusuinya sepuluh kali penyusuan sehingga boleh menemui

1. Hafshah (sebagai mahram). Maka Fathimah pun melakukannya sehingga ‘Ashim pun bisa menemui Hafshah.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Malik (1279), Abdurrazzaq (VII/470), dan al-Baihaqi (VII/457)

Penulis berkata: Pendapat Yang Rajih adalah pendapat bahwa “lima kali penyusuan itu menjadikan mahram” berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha tentang penasakhan (ayat) sepuluh kali penyusuan menjadi lima kali. Hadits ini menjadi muqayyid (pembatas) kemutlakan hadits-hadits yang tidak menyebutkan jumlah penyusuan sehingga hadits-hadits itu harus dibawa kepada pengertian hadits ini. Kemudian, hadits-hadits tentang dua kali penyusuan, maka tidak tegas menyatakan tiga atau empat kali penyusuan menyebabkan kemahraman, sedangkan riwayat yang menyatakan lima kali penyusuan sangat tegas menyatakan hal itu sehingga hadits-hadits tadi dijelaskan dengan riwayat ini. Dengan pendapat ini, dalil-dalil yang ada menjadi selaras tidak bertentangan.
Adapun mengenai fatwa Aisyah radhiallahu ‘anha tentang sepuluh kali penyusuan, maka tidak bisa dijadikan hujjah karena dua alasan berikut. (Al-Muhalla (X/10) dan Jami‘ Ahkam an-Nisa’ (III/65).

1. Bahwa fatwa tersebut adalah pengecualian karena Aisyah radhiallahu ‘anha menetapkan untuk dirinya sepuluh kali penyusuan dan untuk selainnya lima kali penyusuan sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat darinya. Demikian pula halnya dengan Hafshah radhiallahu ‘anha. Maka, boleh jadi untuk istri-istri Rasulullah ada (jumlah) penyusuan yang dimaklumi sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Thawus.

2. Bahwa yang jadi ukuran (dalam hal ini) adalah riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha, bukan pendapat dan fatwanya. Wallahu a‘lam.
Catatan tambahan: Jika muncul keragu-raguan mengenai jumlah penyusuan yang menjadikan mahram apakah telah genap ataukah tidak, maka kemahraman tidak berlaku karena hukum asalnya adalah tidak ada kemahraman. Kita tidak boleh menghilangkan keyakinan dengan keragu-raguan. Ini sama halnya dengan masalah keragu-raguan tentang jatuh atau tidaknya talak. (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (VII/537).

Di dalam al-Mughni (VII/547), Ibnu Qudamah berkata, “Apabila seorang perempuan memiliki ASI karena kehamilan dari suaminya lalu dia menyusui seorang bayi tiga kali penyusuan. Setelah itu, ASI-nya berhenti keluar. Kemudian dia (bercerai dan) menikah lagi dengan laki-laki lain lalu memiliki ASI karena kehamilan dari suami barunya itu, kemudian dia kembali menyusui bayi yang tadi sebanyak dua kali penyusuan, maka dia menjadi ibu (susuan) bagi si bayi tanpa ada perbedaan pendapat sepanjang pengetahuan kami di antara pihak-pihak yang mengatakan bahwa lima kali penyusuan itu menyebabkan hubungan kemahraman. Sementara kedua laki-laki yang menjadi suaminya tidak menjadi ayah (susuan) bagi sang bayi karena masing-masing belum genap jumlah penyusuan dari ASI-nya. Akan tetapi, sang bayi menjadi mahram bagi keduanya karena menjadi rabib (anak tiri) keduanya dan bukan sebagai anak (susuan).”

Batas Umur yang Menjadi Patokan dalam Menetapkan Mahram Karena Penyusuan
Ada banyak pendapat ulama tentang batas umur yang menjadi ukuran dalam menetapkan hubungan kemahraman karena penyusuan. Tiga pendapat yang masyhur di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama: Terjadi Dalam Masa Dua Tahun Pertama Dari Kelahiran Saja. Ini adalah pendapat jumhur ulama, antara lain: Malik, asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dua kolega Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Muhammad al-Hasan), dan al-Auza‘i.[Mawahib al-Jalil (IV/179), Bidayah al-Mujtahid (II/67), al-Badai‘ (IV/5), al-Umm (V/39, 40), dan al-Mughni (VII/532)] Pendapat ini pula yang dipegang oleh Umar, Abdullah bin Umar, Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, Abu Musa, dan istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selain Aisyah. Argumen yang diajukan pendapat ini adalah sebagai berikut.

1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

 وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Surat al-Baqarah:233)

Ini adalah panduan dari Allah Subhanahu wata’ala untuk para ibu agar menyusui anak-anak mereka secara penuh, yaitu selama dua tahun. Dan ini menunjukkan bahwa penyusuan yang menyebabkan hubungan kemahraman sebagaimana kemahraman karena nasab adalah penyusuan yang berlangsung dalam dua tahun tersebut. Dengan begitu, penyusuan yang terjadi setelahnya menjadi tidak berlaku. (Lihat: Tafsir al-Qurthubi dan Tafsir Ibni Katsir (al-Baqarah:233).

2. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah masuk menemuinya sedang di sampingnya ada seorang laki-laki. Wajah beliau tampak berubah seolah-olah benci hal itu. Aisyah radhiallahu ‘anha segera berkata, “Dia ini saudara laki-lakiku (sesusuan).” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 انْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ

“Periksalah siapa saja saudara laki-laki kalian (sesusuan), karena penyusuan (yang berlaku) itu hanyalah yang terjadi karena rasa lapar.” (Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5102) dan Muslim (1455).

Maknanya adalah bahwa penyusuan yang menyebabkan kemahraman itu hanyalah penyusuan yang terjadi pada masa kecil di mana dilakukan untuk menghilangkan rasa lapar bayi.

3. Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ

“Penyusuan yang menyebabkan kemahraman hanyalah penyusuan yang membuat kenyang susuan pada masa menyusunya dan dilakukan sebelum penyapihan.” (Shahih. Hadits Riwayat: at-Tirmidzi (1162) dan Ibnu Hibban (VI/214).

4. Dari Abdullah bin Dinar, dia berkata, “Saat aku bersama Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma di Dar al-Qadha’, seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya tentang (hukum) penyusuan orang dewasa. Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma menjawab, ‘Seorang laki-laki pernah datang kepada Umar bin al-Khaththab lalu berkata, ‘Aku punya seorang budak perempuan dan sering aku gauli. Kemudian istriku sengaja menemuinya lalu menyusuinya. Saat aku menemui budak itu sekali lagi, istriku berkata, ‘Tahan dirimu karena demi Allah aku telah menyusuinya.’’ (Mendengar hal itu,) Umar pun berkata, ‘Pukullah istrimu (sebagai hukuman baginya) dan gaulilah budak perempuanmu karena sesungguhnya penyusuan (yang mengharamkan) itu hanyalah penyusuan anak kecil.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Malik (1289), Abdurrazzaq (VII/462), dan al-Baihaqi (VII/461)

5. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Tidak ada penyusuan kecuali untuk orang yang disusui saat kecil, dan tidak ada penyusuan untuk orang dewasa.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Malik (1282), Abdurrazzaq (VII/465), dan Ibnu Jarir dalam at-Tafsir (4956)

6. Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas‘ud radhiallahu ‘anhu lalu berkata, “Aku punya seorang istri. Air susunya tertahan di payudaranya, maka aku mengisapnya dan menelannya. Lalu aku mendatangi Abu Musa radhiallahu ‘anhu dan menanyainya (tentang hal itu). Dia berkata, ‘Istrimu telah haram bagimu.” Laki-laki itu berkata, “Maka Ibnu Mas‘ud radhiallahu ‘anhu bangkit dan kami pun ikut bangkit bersamanya (dan pergi) hingga dia tiba di hadapan Abu Musa radhiallahu ‘anhu lalu berkata, ‘Apa yang telah kamu fatwakan kepada orang ini?” Setelah Abu Musa radhiallahu ‘anhu memberitahukan fatwa yang dia berikan, Ibnu Mas‘ud radhiallahu ‘anhu berkata sambil memegang tangan laki-laki tadi, “Apakah menurutmu laki-laki ini seorang anak yang masih menyusu? Penyusuan (yang mengharamkan) itu hanyalah yang menguatkan daging dan darah.” Maka Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata, “Jangan lagi kalian bertanya kepadaku tentang sesuatu selama orang pandai ini masih ada di tengah kalian.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Abdurrazzaq (VII/463), al-Baihaqi (VII/461), dan ath-Thabari (4985)

7. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Tidak ada (kemahraman karena) penyusuan kecuali penyusuan yang terjadi dalam dua tahun pertama (setelah kelahiran).” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Sa‘id bin Manshur di dalam sunannya (980) dan al-Baihaqi (VII/462)

8. Pengingkaran istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengesahkan penyusuan orang dewasa. Akan disebutkan nanti.

Kedua: Yang Terjadi Pada Masa Tiga Puluh Bulan (Sejak Kelahiran). Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Badai‘ ash-Shanai‘ (IV/5) dan al-Hidayah (I/223) Argumen beliau adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:

 وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Surat al-Ahqaf:15)

Abu Hanifah menganggap maksud hamil (al-hamlu) di sini adalah menggendong pada masa penyapihan, bukan menggendong dalam perut (mengandung)!

Ketiga: Penyusuan Orang Dewasa Menyebabkan Hubungan Kemahraman Seperti Halnya Penyusuan Anak Kecil. Ini adalah pendapat kalangan Zhahiriyah, Atha‘, dan al-Laits, (Al-Muhalla (X/9), al-Mughni (VII/542), dan Jami‘ Ahkam an-Nisa’ (III/77) serta yang dipegang oleh Aisyah radhiallahu ‘anha. Argumen mereka adalah sebagai berikut.

Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Sahlah binti Suhail mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku melihat perasaan tidak suka pada wajah Abu Hudzaifah karena masuknya Salim ke dalam rumah (padahal dia adalah pelayannya).’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Susuilah dia.’ Sahlah berkata, ‘Bagaimana mungkin aku menyusuinya sementara dia itu telah dewasa?’ Rasulullah pun tersenyum (mendengar ucapannya itu) seraya berkata, ‘Aku juga tahu kalau dia itu laki-laki dewasa.” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1453).
Dalam menjawab orang yang berargumen dengan hadits ini, jumhur ulama telah memberi sejumlah jawaban, antara lain:

1. Ini kasus yang khusus untuk Salim dan Sahlah radhiallahu ‘anhuma, tidak berlaku umum. Karena itulah seluruh istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari argumen Aisyah radhiallahu ‘anha dengan hadits ini. Dari ‘Urwah, dia berkata, “Seluruh istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (selain Aisyah) menolak memberi izin kepada siapapun untuk masuk menemui mereka dengan alasan penyusuan  --maksud ‘Urwah: penyusuan orang dewasa--. Mereka berkata kepada Aisyah, ‘Demi Allah, menurut kami apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Sahlah binti Suhail itu tidak lain kecuali suatu keringanan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (baginya) untuk menyusui Salim saja. Demi Allah, tidak boleh seorang pun masuk menemui kami dan tidak boleh melihat kami dengan alasan penyusuan seperti itu.” (Shahih. Hadits Riwayat: an-Nasa’i (VI/106), Malik (1288), Ahmad (VI/269), dan al-Baihaqi (VII/459). Diriwayatkan pula oleh Muslim (1454) dan selainnya dari hadits Ummu Salamah dengan redaksi yang mirip)

2. Ini telah dimansukh, dan tidak bisa diterima terlebih lagi karena masa terjadinya tidak diketahui.

Penulis berkata: Pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan yang diakui menyebabkan hubungan kemahraman adalah yang terjadi pada masa dua tahun pertama dari kelahiran anak susuan sebagaimana yang dipegangi oleh jumhur ulama. Akan tetapi, jika memang diperlukan penyusuan agar menjadikannya mahram seperti penyusuan orang dewasa --yang tidak bisa tidak harus sering menemui perempuan yang bukan mahramnya dan susah bagi si perempuan untuk terus berhijab darinya--, maka tidak ada halangan untuk memberlakukan hadits tentang Sahlah dan Salim di atas. Khususnya lagi bahwa jika memang ada kebutuhan, maka apa yang tidak boleh dilakukan jika tidak ada keperluan menjadi boleh dilakukan. (Ada kesalahan cetak dalam kitab aslinya: tertulis “يجوز للحاجة ما يجوز لغيرها” seharusnya “يجوز للحاجة ما لايجوز لغيرها”. -Pent) Ini pendapat Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah dan dipilih oleh asy-Syaukani, (Majmu‘ al-Fatawa (halaman 32) dan Nail al-Authar (6) serta menjadi pendapat keempat dalam masalah ini. Dengan pendapat ini, seluruh nash yang ada mengenai masalah ini bisa dikompromikan tanpa mengabaikan satu pun di antaranya. Wallahu a‘lam.

Bentuk Penyusuan Yang Menyebabkan menjadi mahram

Apakah Disyaratkan Pengisapan Payudara Dalam Proses Penyusuan?

Al-Umm (V/38), Jumhur ulama berpendapat bahwa air susu ibu susuan menyebabkan terjadinya hubungan kemahraman baik air susu itu diisap oleh anak susuan langsung dari payudara si ibu atau diperah ke dalam wadah lalu anak susuan minum darinya, baik air susu dimasukkan lewat mulut, lewat hidung, atau dengan cara apapun yang membuat anak susuan mendapatkan asupan makanan, hilang rasa laparnya, tumbuh dagingnya, dan menguat tulang-tulangnya. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 إِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ

“Sesungguhnya penyusuan (yang menyebabkan hubungan kemahraman) itu hanyalah yang terjadi karena lapar."

Adapun Ibnu Hazm, maka dia menjadikan fokus pengharaman ada pada pengertian penyusuan. Dia berkata, “Tidak dinamakan penyusuan kecuali dengan cara anak susuan memasukkan puting payudara ke dalam mulutnya lalu mengisapnya.” Dia juga berkata, “Adapun orang yang diberi air susu perempuan dalam wadah lalu dia meminumnya dari wadah itu, atau diperahkan ke dalam mulutnya, atau disuapkan kepadanya dengan roti atau dicampur dalam makanannya, semua itu tidak menyebabkan kemahraman sama sekali!”

Penulis berkata: Ini adalah pendapat al-Laits, Daud, dan ulama Zhahiriyah. Pendapat jumhur ulama lebih kuat karena yang jadi patokan adalah si anak susuan meminum air susu tersebut karena itulah yang menyebabkan kemahraman. Seandainya anak susuan menyusu hingga air susu masuk ke dalam mulutnya lalu dia muntahkan, maka kemahraman tidak berlaku. Jadi, yang jadi pertimbangan adalah minumnya tersebut. Wallahu a‘lam.

Beberapa Catatan tambahan:

Jika Seorang Perawan Keluar Air Susunya Lalu Dia Menyusui Seorang Anak, Apakah Air Susunya Itu Menyebabkan Hubungan mahram? (Al-Umm (IV/42), al-Mughni (VII/546), dan Jami‘ Ahkam an-Nisa’ (III/83).

Jika seorang perempuan memiliki air susu tanpa proses (kehamilan karena) persetubuhan, baik dia seorang perawan atau pun janda, maka menurut jumhur ulama dari kalangan Imam yang Empat dan selainnya, air susunya itu menyebabkan kemahraman dan anak yang meminum air susu itu menjadi anak susuannya. Hal ini karena air susu tersebut air susu seorang perempuan sehingga berkaitan dengan hubungan kemahraman sebagaimana halnya jika ia keluar karena persetubuhan. Di samping itu, air susu kaum perempuan memang diciptakan sebagai makanan bagi anak kecil. Meskipun kasus ini jarang terjadi, namun jenisnya hal yang biasa.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama