Pengertian Sujud sahwi, hukum, dalil dan tatacaranya

Edumuslim.org - Pada kesempatan ini admin edumuslim.org akan menerbitkan artikel dengan judul penjelasan lengkap tentang sujud sahwi. Penting untuk diketahui bahwa sujud sahwi termasuk bagian penting dalam fikih shalat. Karena ia memiliki keterkaitan langsung dengan shalat. Oleh karena memahami tata cara sujud sahwi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sangat penting. Berikut ini pembahasan selengkapnya. Selamat membaca.

Definisi Sahwi


Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai terhadap sesuatu dan berpaling kepada yang lain (Lisanul-Arab. Dari asal kata (سها).

Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat sebelum salam atau setelah shalat untuk menutupi kekurangan dalam shalat karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang tanpa sengaja. (Al-Iqna' karangan Imam Syarbini (2/89)

Pensyariatan Sujud Sahwi


Para ulama madzhab telah sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi bagi yang meninggalkan sesuatu yang telah diperintahkan (petunjuk Nabi dalam shalat), atau misalnya karena lupa. (Kitab Nudzumul-Faraid Lima Fi Haditsi Dzil-Yadaini Minal-Fawaid karangan Hafidz Al-'Ala-iy (hal. 405))

Banyak hadist shahih yang menerangkan disyari'atkannya sujud sahwi, penulis sebutkan beberapa di antaranya untuk memudahkan dalam memahami hukumnya dalam permasalahan bab ini:

Hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

“Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqamah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1231), dan Muslim (389)

Hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu :

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ -إِمَّا الظُّهْرَ وَإِمَّا الْعَصْرَ- فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا, وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ, فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ؟ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا, فَقَالَ: مَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ؟! قَالُوا: صَدَقَ, لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ, فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ و سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

“Suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengimami kami shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin shalat Dhuhur atau Ashar. Namun pada rakaat kedua, beliau sudah mengucapkan salam. Kemudian beliau pergi menuju pohon kurma di arah kiblat masjid, lalu beliau bersandar pada pohon tersebut. Orang-orang yang suka cepat-cepat keluar. Lalu Dzul-Yadain tiba-tiba berdiri seraya berkata, "Wahai Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah engkau lupa?" Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, "Betulkah apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?" Mereka lalu berkata, "Betul, wahai Rasulullah, engkau shalat hanya dua rakaat" Kemudian beliau shalat dua rakaat lagi, lalu salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1229), dan Muslim (573)

Hadits 'Imran bin Hushain radhiallahu 'anhuma yang serupa dengan hadits riwayat Abu Hurairah di atas, di dalamnya terdapat redaksi,

وَسَلَّمَ من ثَلاَثِ رَكَعَاتٍ فلما قيل له , َصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ, ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam shalat Ashar lalu beliau salam pada rakaat ketiga. Maka tatkala ada orang yang memberitahu Rasulullah, kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (Hadits Riwayat: Muslim (574), an An-Nasa`i (1/26), dan Ibnu Majah (1018)

Hadits riwayat Abdullah bin Buhainah radhiallahu 'anhuma

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ, فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ يُكَبَّرُ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal). (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1224), dan Muslim (570)

Hadits riwayat Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhuma ia berkata:

صَلَّى رَسُولُ اَللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قال ابراهيم: زاد أو نقص- فَلَمَّا سَلَّمَ قِيلَ لَهُ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , أَحَدَثَ فِي اَلصَّلَاةِ شَيْءٌ ? قَالَ : " وَمَا ذَلِكَ ? " . قَالُوا : صَلَّيْتَ كَذَاوَ كَذَا , قَالَ : فَثَنَى رِجْلَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ اَلْقِبْلَةَ , فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ , ثُمَّ سَلَّمَ , ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ : " إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي اَلصَّلَاةِ شَيْءٌ أَنْبَأْتُكُمْ بِهِ , وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ , فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي , وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ اَلصَّوَابَ , فلْيُتِمَّ عَلَيْهِ , ثُمَّ لِيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam shalat, Ibrahim berkata, Nabi menambahi atau mengurangi (rakaatnya), maka tatkala selesai salam, dikatakan pada beliau, "Wahai Rasulallah, apakah telah terjadi sesuatu di dalam shalat?" Rasulullah pun bertanya, "Kejadian apa? Mereka berkata, engkau telah shalat begini dan begitu. Kata Abdullah: Lalu ia bengkokkan kedua kakinya lalu menghadap kiblat lalu ia sujud dua kali sujud kemudia salam, kemudian ia menghadapkan mukanya kepada kami, lalu beliau mengatakan, "Kalau terjadi sesuatu di dalam shalat aku telah memberitahukannya kepada kalian, tapi sesungguhnya aku juga manusia biasa yang bisa lupa sebagaimana kalian lupa, apabila aku lupa maka ingatkanlah aku. Maka apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, pilihlah yang benar, lalu sempurnakanlah kekurangan shalat itu kemudian hendaknya ia mengerjakan sujud dua kali" (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1226), Muslim (572)

Dan di dalam riwayat Al-Bukhari

ثُمَّ لِيُسَلِّمَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ

“Kemudian beliau salam, lalu sujud dua kali”
Dan dalam riwayat yang lain lagi disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam shalat lima rakaat, lalu sujud sahwi dengan dua kali sujud.

Hadist riwayat Abu Sa'id al-Khudry radhiallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga rakat atau empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (Hadits Riwayat: Muslim (571), Abu Daud (1024), an An-Nasa`i (3/27), Ibnu Majah (1210)
Begitu juga hadits riwayat Abdurrahman bin Auf radhiallahu 'anhuma yang serupa dengan hadits ini.

Sebab-Sebab Sujud Sahwi


Disyariatkan sujud sahwi di dalam shalat karena tiga hal:

Pertama Karena adanya kekurangan


Jika meninggalkan sesuatu di dalam shalat karena lupa atau lalai, maka sesuatu yang ditinggalkan ini bisa jadi rukun, atau sesuatu yang wajib atau juga sesuatu yang sunnah:

Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya sebelum memulai bacaan pada rakaat berikutnya, maka hendaklah ia mengulangi rukun yang ia tinggalkan tadi, dilanjutkan melakukan rukun yang setelahnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat. Sebagaimana nanti akan diperinci lebih jelas.
Namun jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya setelah memulai membaca Al-Fatihah pada rakaat berikutnya, maka rakaat sebelumnya yang terdapat kekurangan rukun tadi menjadi batal. Ketika itu, hendaknya ia membatalkan rakaat –yang kurang rukunnya tadi– dan kembali menyempurnakan shalatnya. Kemudian ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat. (Beginilah yang ditegaskan Hanabilah, begitu juga madzhab Malikiyyah dan Syafi'iyyah yang srupa dengannya. Ad-Dasuqi (1/293), Al-Majmu' (4/116), Kasyaf Al-Qanna’ (1/402), Al-Mughni (2/6)

Sedangkan jika ia lupa melakukan satu rakaat atau lebih, maka hendaklah ia menyempurnakan shalatnya, kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi. Hal ini berdasarkan dari hadits riwayat Abu Hurairah saat mengisahkan kasus Dzul-Yaddain dan Umran bin Hushain.

Meninggalkan sesuatu yang wajib dalam shalat seperti tasyahhud awwal.


Jika meninggalkan salah satu kewajiban shalat, lalu mampu untuk melakukannya dan ia belum beranjak dari tempatnya, maka hendaklah ia melakukan wajib shalat tersebut. Kondisi ini tidak ada kewajiban sujud sahwi.

Dan jika meninggalkan wajib shalat, lalu mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya, namun belum sampai pada rukun selanjutnya, maka hendaklah ia kembali melakukan wajib shalat tadi. Kondisi ini juga tidak ada sujud sahwi.
Namun jika ia meninggalkan wajib shalat sedangkan ia mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya dan setelah sampai pada rukun sesudahnya, maka ia tidak perlu kembali melakukan wajib shalat tadi, ia terus melanjutkan shalatnya. Pada saat ini, ia tutup kekurangan tadi dengan sujud sahwi.

Landasan dalil yang menerangkan hal ini hadits riwayat Abdullah bin Buhjainah di atas.
Juga hadits riwayat Ziyad bin 'Alaqah radhiallahu 'anhuma ia berkata,

صَلَّى بِنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَلَمَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَامَ وَلَمْ يَجْلِسْ فَسَبَّحَ بِهِ مَنْ خَلْفَهُ فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ قُومُوا فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَلَّمَ وَ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَ سَلَّمَ وَ قَالَ: "هَكَذَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-"

“Suatu ketika Mughirah bin Syu'bah shalat bersama kami, saat shalat pada rakaat kedua, ia berdiri dan tidak melakukan duduk tasyahhud awal, lalu makmum yang di belakangnya mengucapkan tasbih (untuk mengingatkan). Namun Mughirah bin Syu'bah mengisyaratkan kepada mereka agar mereka turut berdiri. Dan setelah ia usai shalat, lalu mengerjakan sujud dua kali (sujud sahwi) dan salam lagi. Mughirah bin Syu'bah kemudian berkata, "Beginilah yang diperbuat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam."

Dalam riwayat lain Mughirah bin Syu’bah berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إذَا اسْتَتَمَّ أَحَدُكُمْ قَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ , وَإِنْ لَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ , وَلاَ سَهْوَ عَلَيْهِ

“Jika salah seorang di antara kalian telah berdiri sempurna (dan tidak mengerjakan tasyahud awal) maka hendaknya ia melanjutkan shalatnya, lalu di akhir shalat ia sujud dua kali (sujud sahwi). Namun jika ia belum berdiri sempurna, hendaknya ia duduk (dan melakukan tasyahud awal), maka dengan demikian ia tidak perlu lagi sujud sahwi.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (1036), At-Tirmidzi (365), Ahmad (4/247), Thahawi dalam kitab Al-Ma'ani (1/439), Lih: Irwa' al-Ghalil (388). Shahih dengan jalur periwayatannya)

Meninggalkan sunnah shalat


Dalam hal ini ada yang mengatakan, tidak perlu sujud sahwi, karena perkara sunnah tidak mengapa ditinggalkan. Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan tetap disunnahkan sujud sahwi walaupun dalam perkara sunnah –namun tidak diwajibkan, hal ini untuk menghindari adanya tambahan dari rukun shalat yang telah ada– berdasarkan hadits,

لِكُلِّ سَهْوٍ سَجْدَتَانِ

“Dalam setiap lupa ada dua kali sujud”.
(Hadits Riwayat: Abu Daud (1038), Ibnu Majah (1219), Ahmad (5/285), Abdurrazaq (3533), Thayalisi (997), Al-Baihaqi (2/337), Thabrani (2/92) dan dalam sanadnya terdapat perbedaan. Dha'if dan Inqitha')

Akan tetapi hadits ini dha'if dan tidak bisa dijadikan dalil.

Karena adanya penambahan.


Jika seseorang lupa sehingga menambah satu rakaat atau lebih, lalu ia mengingatnya di tengah-tengah tambahan rakaat tadi, hendaklah ia langsung duduk, lalu tasyahud akhir, kemudian salam. Setelah itu, ia melakukan sujud sahwi seusai salam.

Jika ia ingat adanya tambahan rakaat setelah selesai salam,  maka ia sujud ketika ingat, kemudian salam.

Pembahasan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ "وَمَا ذَاكَ" . قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا . فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan shalat zhuhur lima rakaat (karena lupa). Lalu ada yang menanyakan kepada beliau, "Apakah engkau menambah dalam shalat?" Rasulullah pun menjawab, "Apa yang terjadi?" Orang tadi berkata, "Engkau shalat lima rakaat." Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sujud dua kali setelah ia salam”

Karena adanya keraguan.


Jika seseorang merasa ragu –misalnya ragu apakah telah shalat tiga atau empat rakaat–, maka hendaklah ia mengingat dan menguatkan di antara keragu-raguan tadi (memilih mana yang lebih pantas). kemudian pilih yang ia lebih yakin. Kemudian melakukan sujud sahwi setelah salam. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Ibnu Mas'ud sebelumnya. 

Maksudnya di sini: misalkan orang yang tengah shalat tadi ingat bahwa dia telah membaca Al-Fatihah dan Surat sebanyak dua kali, dengan demikian dia tahu telah mengerjakan dua rakaat dan bukan satu rakaat. Atau ingat bahwa dia telah melakukan Tasyahud Awal, dengan demikian dia tahu telah melakukan dua rakaat dan bukan satu rakaat. Dan jika seseorang dapat memilih mana yang lebih mendekati kepada yang benar, hendaknya ia menghilangkan rasa ragu. Dalam hal ini tidak ada beda antara yang menjadi imam dengan orang yang shalat sendirian, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul-Islam (13/23) yang berbeda dengan pendapat Masyhur dalam madzhab Imam Ahmad. Al-Mughni (1/378), Kassyaf al Qanna' (1/406), sedangkan menurut jumhur ulama, hendaknya orang tersebut melandasi perbuatannya di atas keyakinan secara global.

Jika tidak bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka pilih yang ia yakin (yaitu yang paling sedikit). Kemudian  setelah itu sujud sahwi sebelum salam.

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri yang telah lewat. Juga terdapat dalam hadits Abdurrahman bin 'Auf, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِا ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلاَثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلاَثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya hingga tidak tahu apakah satu rakaat atau dua rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaknya ia hitung satu rakaat. Jika tidak tahu apakah dua atau tiga rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung dua rakaat. Dan jika tidak tahu apakah tiga atau empat rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung tiga rakaat. Setelah itu sujud dua kali sebelum salam.” (Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (398), Ibnu Majah (1209), Hakim (1/325), Al-Baihaqi (2/332). Ada sanad yang Layyin, 'An-'anah Ibnu Ishaq, dan dia Mudallas)

Catatan Penting:


Seseorang tidak perlu menghiraukan rasa ragunya yang muncul saat ibadah, dalam tiga kondisi: (Kitab Sujud Sahwi karangan Syaikh Mahmud Gharib (hal. 17)
1. Jika hanya sekedar was-was yang tidak ada hakikatnya.
2. Jika seseorang melakukan suatu ibadah selalu dilingkupi keragu-raguan, maka dalam kondisi ini keragu-raguannya tidak perlu dihiraukan.
3. Jika keraguan-raguannya setelah selesai ibadah, maka tidak perlu dipedulikan selama itu bukan sesuatu hal yang yakin.

Hukum Sujud Sahwi


Para ulama berbeda dalam dua pendapat mengenai hukum sujud sahwi ketika ada sebab: (Fathul-Qadir (1/502), Al-Qawanin (67), Al-Majmu' (4/152), Al-Mughni (2/36), Kasyaf Al-Qanna’ (1/408), Al-Muhalla (4/159), dan Majmu' al-Fatawa (23/27)

Pertama: Hukumnya wajib. Ini pendapat ulama Hanafiyah, salah satu pendapat dari Malikiyah, pendapat yang jadi sandaran dalam madzhab Hanbali, ulama Dzahiriyah pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Alasan mereka adalah:

Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam selalu melakukan sujud sahwi –ketika ada sebabnya– dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.
Kedua: Hukum sujud sahwi adalah sunnah. Ini pendapat Malikiyyah, Syafi'iyyah dan salahsatu riwayat dari Hanabilah. Landasan mereka adalah:

Hadist riwayat Abu Sa'id radhiallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إذَا شَكَّ أحدُكُم فِي صَلاَتِهِ فََلْيُلْقِ الشَكَّ وَليَبْين عَلَى اليَقِيْنِ، فإذاَ اسْتَيْقَنَ التَّمَامَ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، فإن كَانَتْ صَلاَتُهُ تَامَّةً كَانَتِ الرَّكْعَةُ نَافِلَةً وَالسَجْدتَانِ، وَإنْ كَانَتْ نَاقِصَةً كَانَتْ الرَّكْعَةُ تَمَامًا لِصَلاَتِهِ وَكَانَتْ السَّجْدَتَانِ مُرغمتي الشَّيْطانِ

"Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya maka buanglah keragu-raguan dan teguhkanlah keyakinan. Apabila telah yakin bahwa shalatnya sempurna, maka segeralah melakukan sujud (sahwi) dua kali, sehingga jika shalatnya sempurna rakaat yang diulangnya tadi dan dua kali sujud yang dilakukaknnya terhitung sebagai sunnah. Namun jika rakaat shalatnya kurang maka rakaat yang belum dilakukannya terhitung sempurna shalatnya, dan dua kali sujud yang dilakukannya tadi untuk menjauhkan dari godaan setan.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (1024), Ibnu Majah (1210), dan asalnya dari riwayat Muslim, namun tanpa disebutkan redaksi (السجدتان نافلة). Sanadnya Hasan)

Menurut pendapat kedua, dalam hadist ini disebutkan bahwa dua sujud itu sebagai sunnah dan bukan wajib.

Pendapat Yang Rajih adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa sujud sahwi adalah wajib.

Adapun mengenai dalil pendapat kedua yang mengatakan bahwa sujud sahwi itu sunnah, hal ini telah dibantah oleh Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah dengan dua hal:

1. Lafadz hadist  (نافلة كانت الركعةُ والسَجْدتَانِ) tidak ditemukan dalam haditsshahih. Adapun lafadz shahihnya adalah,

فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْتا لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى تَمامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Maka buanglah yang ragu dan tetapkanlah yang yakin, kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ia shalat lima rakaat, maka cukuplah shalat itu baginya dan jika ia shalat sempurna empat rakaat, maka merupakan penghinaan bagi syetan.”

Dalam hadist ini menunjukan wajibnya satu rakaa't dan dua sujud tersebut.

2. Jika seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memang mengatakan hal tersebut, maka artinya adalah agar ia melakukannya jika terdapat keraguan, namun jika saja shalatnya sempurna dalam kasus tersebut, dan rakaatnya tidak ada yang kurang sama sekali, maka itu menjadi tambahan dalam amalnya, sehingga ia mendapat tambahan pahala sebagaimana dalam shalat sunnah.

Apakah Sujud Sahwi Sebelum Salam Atau Setelahnya?


Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, apakah sujud sahwi dilakukan sebelum atau sesudah salam? Hal ini dikarenakan adanya beberapa hadist yang menerangkan tentang sujud sahwi. Meskipun mereka telah sepakat bahwa sujud sahwi dapat dilakukan dengan cara yang manapun. Di sini ada sembilan cara:

1. Semua sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Ini pendapat Abu Hurairah, Mahkul, Zuhri, Ibnu al-Musayyib, Rabii'ah, al-Auzai', al-Laits, dan ini juga pendapat madzhab Syafi'i dalam Qaul Jadidnya.

2. Semua sujud sahwi dilakukan setelah salam. Pendapat ini dipilih oleh Sa'd bin Abi Waqash, Ibnu Masu'd, Anas, Ibnu Zubair, Ibnu Abbas, yang ini diriwayatkan dari Ali dan 'Ammar, Hasan, an-Nakh'i, at-Tsauri. Dan inilah pendapat Abu Hanifah danpara pengikutnya.

3. Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu rakaat–, maka sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Sedangkan apabila terjadi kekurangan maka dilakukan sebelum salam. Ini adalah pendapat Imam Malik, Muzanni, Abu Tsaur, dan salah satu Pendapat dari Imam Syafi'i.

4. Dilakukan dengan apa yang diterangkan oleh hadits sesuai dengan konteksnya, namun jika tidak ada hadits khusus yang menerangkan kapan sujud sahwi yang dilakukan karena kasus tertentu, maka saat itu sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Ini adalah madzhab Imam Ahmad, Ibnu Abi Khaitsamah, dan juga Ibnu Mundzir.

5. Dilakukan sebagaimana yang diterangkan oleh hadits sesuai dengan konteksnya, namun jika tidak ada hadits khusus yang menerangkan kapan sujud sahwi yang dilakukan karena kasus tertentu, maka saat itu sujud sahwi dilakukan setelah salam jika kelebihan rakaatnya, dan dilakukan sebelum salam jika jumlah rakaatnya kurang. Pendapat ini merupakan madzhab Ishaq bin Rahawiyah

6. Sama dengan sebelumnya, hanya saja ketika tidak ada hadits khusus yang menerangkan kapan sujud sahwi yang dilakukan karena kasus tertentu, saat itu dia boleh memilih untuk melakukan sujud sahwi sebelum atau sesudah salam.

7. Yang cenderung yakin melakukan rakaat lebih sedikit, maka ia sujud sahwi sebelum salam. Dan yang memilih mana yang pantas, maka sujud sahwi setelah salam. Pendapat ini merupakan madzhab Ibnu Hibban.

8. Seseorang bebas untuk memilih melakukan sujud sahwi baik sebelum ataupun sesudah salam.  pendapat ini dikisahkan dari Ali, dan juga merupakan pendapat Imam Syafi'i dalam salah satu pendapatnya, serta perkataan Imam Thabary

9. Sujud sahwi dilakukan setelah salam. Kecuali dalam dua keadaan, makaseseorang boleh memilih melakukan sebelum atau sesudah salam. Keadaan tersebut adalah; Pertama: Apabila ia berdiri dan belum duduk untuk tasyahhud awal.
Kedua: Apabila ia tidak tahu apakah ia shalat satu rakaat, tiga rakaat ataukah empat rakaat, maka ia harus berpegang kepada bilangan paling sedikit, kemudian memilih untuk melakukan sujud apakah sebelum atau sesudah salam. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazm, dan ulama Dzahiriyyah.

Pendapat Yang Shahih adalah yang berdasarkan kumpulan nash-nash di atas. Yaitu dengan membedakan antara sujud sahwi yang dilakukan karena kelebihan atau kekurangan rakaat, juga antara keragu-raguan tanpa kecondongan dengan keragu-raguan yang diiringi keyakinan. Ini pendapat Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah. (Majmu' al-Fatawa (23/24-25) Ia mengatakan, Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, begitu juga madzhab Imam Malik dekat dengan pendapat ini namun tidak seperti itu. Pendapat ini selain mampu menggabungkan antara seluruh nash yang ada, namun di sana terdapat juga alasan yang masuk akal. Yaitu:

1. Jika ada kekurangan di dalam shalat –seperti meninggalkan tasyahud awal– maka shalat diperbaiki (dilengkapi), dan pelengkapnya harus dilakukan sebelum salam agar shalatnya sempurna. Karena salam adalah penutup dari shalat.

2. Jika ada kelebihan shalat –tertambah satu rakaat misalkan– dan di dalam satu shalat tidak terkumpul dua tambahan. Maka sujud sahwi dilakukan setelah salam. Karena itu sebagai penghinaan untuk setan. Maka –satu rakaat tambahan itu– terhitung sebagai shalat tersendiri, dan sujud sahwi berfungsi untuk melengkapi kekurangannya. Karena Rasulullah menjadikan dua kali sujud sebagai satu rakaat.

3. Demikian juga jika seseorang ragu dan memilih mana yang lebih pantas, maka ia menyempurnakan shalatnya. Dan sujud sahwi dilakukan setelah salam sebagai penghinaan terhadap setan.

4. Sama halnya jika seseorang salam, namun masih ada rakaat tersisa yang belum dikerjakan, kemudian ia melengkapinya, maka dia telah menyempurnakan shalatnya. Dan salam setelah itu merupakan tambahan, lalu sujud sahwi dikerjakan setelah salam, sebagai bentuk penghinaan terhadap setan.

5. Namun jika seseorang ragu dan tidak memiliki keyakinan yang lebih kuat, dalam kondisi ini ada dua kemungkinan; baik dia telah mengerjakan empat rakaat atau lima rakaat. Dan jika ia sesungguhnya mengerjakan lima rakaat, maka sujud sahwi tersebut berfungsi untuk menggenapkan rakaatnya, agar menjadi seolah ia telah melakukan enam rakaat dan bukan lima rakaat. Dan ini dilakukan sebelum salam.
Ibnu Taimiyyah berkata, "Pendapat mengenai sujud sahwi yang kita dukung ini, ia sejatinya telah menggabungkan dari segala hadits –sujud sahwi– dan tidak ada satu pun yang ditinggalkan, disertai dengan penggunaan qiyas yang benar untuk permasalahan yang tidak ditemukan hadits berkaitan dengannya, lalu permasalahan yang tidak ada dalil tersebut, disesuaikan dengan masalah serupa yang ada dalilnya."

Jika Lupa Sujud Sahwi Dan Jaraknya Sudah Lama, Atau Wudhunya Batal, Apakah Mencukupkan Shalatnya Lalu Sujud Sahwi Atau Ia Harus Mengulangi Shalatnya?


Masalah ini dibagi dalam dua keadaan:
Jika sujud sahwi yang ditinggalkan sudah lama waktunya, namun wudhunya belum batal. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama:

Pertama: Shalatnya harus diulang dari awal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Imam Ahmad. (Al-Mabsuth (1/224), Al-Mudawwanah (1/135), Al-Majmu' (4/165) dan Al-Mughni (2/13) Karena shalat itu merupakan satu kesatuan tidak bisa dipisah-pisah antara yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana jika wudhu’nya batal.

Kedua: Selama wudhu’nya masih ada (belum batal), shalatnya tidak perlu diulang dan ia melakukan sujud sahwi ketika ia ingat meskipun waktunya sudah lama. Maka shalatnya yang pertama tadi masih tetap berlaku. Inilah salah satu pendapat Imam Malik, pendapat yang terdahulu (qaul qadim) dari Imam Syafi'i, Yahya bin Sa'id al-Anshari, Imam Laits, al-Auza'i, Ibnu Hazm dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah. Hanya saja ini khusus setelah salam. (Al-Mudawwanah (1/135), Al-Muhalla (4/166), dan Majmu' al-Fatawa (23/32-35).

Mereka berargumen: Bahwa tenggang waktu yang lama itu tidak memiliki ukuran pasti. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sendiri pernah lupa, setelah itu beliau berbicara, kemudian keluar dari masjid dan pulang ke rumah, sampai di rumah baru ada yang mengingatkan, beliau lantas keluar rumah menuju masjid dan menyempurnakan kekurangannya tadi, lalu setelah itu melakukan sujud sahwi.

Selain itu, orang yang lupa –selama wudhu’nya masih ada– diperintahkan untuk menyempurnakan shalatnya dan diperintahkan untuk sujud sahwi. Maka sujud sahwi tetap diwajibkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Siapa yang lupa mengerjakan shalat atau ketiduran, maka penebusnya (kafarah) adalah dengan menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat.”. (Hadits Riwayat: Muslim (684), An-Nasa`i (614), dan yang serupa terdapat dalam Al-Bukhari (597)

Penulis Berkata: pendapat kedua ini lebih kuat. Namun siapa yang ingin lebih berhati-hati dalam hal ini, maka tidak ada salahnya jika ia mengulang shalat dari awal. Wallahu A'lam.
Jika wudhu’nya batal setelah ia salam dari shalatnya yang kurang.

Jika seseorang lupa mengerjakan sujud sahwi setelah ia salam dan wudhu’nya batal, maka untuk keadaan kedua ini shalatnya batal, hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Kecuali jika sujud sahwi yang ditinggalkan adalah sujud sahwi sesudah salam dikarenakan kelebihan mengerjakan rakaat, maka  ia boleh melaksanakan sujud sahwi meskipun dalam keadaan masih berhadas (wudhu’nya batal), karena sujud dalam keadaan seperti ini adalah untuk menghinakan setan, seperti inilah yang dikatakan Ibnu Taimiyah. (Majmu' al-Fatawa (23/36)

Penulis Berkata: ia harus wudhu terlebih dahulu setelah itu baru melakukan sujud sahwi, inilah pendapat yang lebih kuat dan selaras.

Jika Lupa Berulangkali Dalam Satu Shalat


Jika seseorang lupa berulang-kali dalam satu shalat, apakah ia harus berulang-kali melakukan sujud sahwi? Raddul-Mukhtar (1/497), Menurut jumhur ulama, tidak perlu melakukan sujud sahwi berkali-kali, tetapi cukup melakukannya dengan dua kali sujud saja (maksudnya sekal sujud sahwi yang terdiri dari dua kali sujud). Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ataupun dari para sahabat bahwa mereka mengulang-ulang sujud sahwi karena lupa yang berulang-kali. Meskipun kelupaan yang berulang-kali itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi bagi siapa saja yang shalat.
Begitu juga jika memang tidak cukup dengan dua kali sujud saja, pastinya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam langsung sujud sahwi setelah lupa. Maka ketika sujud sahwi ini diakhirkan hingga akhir shalat, hal ini menunjukkan bahwa beliau sengaja mengakhirkan sujud agar menggabungkan seluruh kelupaan dalam shalat –dan ditebus dengan sekali sujud sahwi saja–.
Penulis berkata: bahwa hadits marfu' riwayat Tsauban yang berbunyi:

لِكُلِّ سَهْوٍ سَجْدَتَانِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ

“Pada setiap kali lupa diwajibkan untuk melakukan dua kali sujud setelah salam.”
Hadist ini dhai'f, tidak sah dijadikan dalil.

Sujud Sahwi Dalam Shalat Sunnah


Menurut jumhur ulama, sujud sahwi juga dikerjakan dalam shalat sunnah sebagaimana dalam shalat wajib. Karena dalam hadits yang membicarakan sujud sahwi menyebutkan umumnya kata shalat, tidak membatasi pada shalat wajib saja. Selain itu tidak ada dalil yangmembedakan sujud sahwi dalam shalat wajib maupun shalat sunnah.

Diriwayatkan dari Abu 'Aliyah berkata:

رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَسْجُدُ بَعْدَ وِتْرِهِ سَجْدَتَيْنِ

“Aku melihat Ibnu Abbas sujud sahwi dengan dua kali sujud setelah shalat witir.” (Sanadnya Shahih, dita'liq oleh Al-Bukhari (3/125 – Fath) dan disambung oleh Ibnu Abi Syaibah (2/81) dengan sanad Shahih)

Dari A'tha' dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhum berkata:

إذَا أوْهَمْتَ فِي التَّطَوُّعِ فَاسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ

“Jika engkau ragu dalam shalat sunnah maka sujudlah dua kali sujud.” (Hadits Riwayat: Ibnu Abil-Mundzir dalam kitabnya Al-Ausath (3/325). Sanadnya Shahih)

Hukum Sujud Sahwi dalam Shalat Jama'ah


Bagaimana jika lupa sujud sahwi saat shalat berjamaah? Lupa dalam shalat itu dapat dialami oleh Imam maupun makmum.

Jika Imam Lupa Dalam Shalat


Makmum Disyari’atkan Untuk Mengingatkannya: yaitu dengan ucapan tasbih "Subhanallah" bagi laki-laki, dan tepuk tangan bagi wanita, inila pendapat mayoritas ulama yang berbeda dengan pendapat Imam Malik. (Fathul-Qadir (1/356), Mawahibul-Jalil (2/29), Nihayatul-Muhtaj (2/44), dan Al-Mughni (2/19) Hal ini berdasarkan hadits Sahl bin Sa'id, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ

“siapa mengingatkan sesuatu pada imam dalam shalatnya, maka ucapkanlah "Subhanallah" (Maha Suci Allah).” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1218), An-Nasa`i (784)

Dalam lafadz lain:

إذَا نَابَكُمْ أَمْرٌ فَلْيُسَبِّحْ الرِّجَال

“Apabila kalian mengingatkan sesuatu –pada imam shalat–, maka ucapkanlah "Subhanallah" bagi laki-laki.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (7190), An-Nasa`i (793), dan Abu Daud (940)

Dari Abu Huraiurah radhiallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

التَّسْبِيْحُ لِلرِّجَالِ وَ التَّصْفِيق لِلنِّسَاءِ

“Mengucapkan "Subhanallah" untuk laki-laki sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1203), dan Muslim (422)

Sedangkan menurut Malikiyyah: Tidak ada perbedaan bagi makmum laki-laki dan wanita dalam memperingatkan Imam yaitu dengan mengucapkan "Subhanallah" dan tepuk tangan bagi wanita dalam shalat hukumnya makruh.
Namun hadist-hadist di atas cukup untuk membantah pendapat ini.

Cara wanita tepuk tangan untuk mengingatkan imam adalah bagian dalam telapak tangan menepuk bagian punggung telapak tangan lainnya.

Imam Merespon Peringatan dari Makmum


Mayoritas ulama dari ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat; jika imam menambah rakaat dalam shalatnya, namun imam yakin atau berprasangka kuat bahwa ia benar, sedangkan makmum berpendapat bahwa imam telah mengerjakan lima rakaat (misalnya), maka imam tidak perlu merespon makmum.
Menurut Malikiyyah, jika jumlah makmumnya banyak maka imam harus meninggalkan keyakinannya dan merespon peringatan makmum. (Ibnu Abidin (1/507), Nihayatul-Muhtaj (2/75), Al-Kharsyi (1/322), dan Al-Mughni (2/20)

Hal di atas adalah jika imam berada dalam kondisi yakin atau sangkaan kuat bahwa ia benar. Jika imam berada dalam kondisi ragu-ragu, maka ia wajib merespon peringatan makmum.  Demikian pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits Dzul-Yadain yang telah disebutkan sebelumnya. Namun menurut ulama Syafi'iyyah, dalam kondisi ragu-ragu sang Imam harus mengikuti sesuai dengan apa yang diyakininya tanpa merespon peringatan makmum.

Penulis Berkata: Pendapat mayoritas ulama lebih kuat, karena kesaksian para makmum –yang dapat dipercaya– merupakan bentuk dari pendeteksian, maka apabila peringatan para makmum itu benar, Imam pun harus mengikutinya.Wallahu A'lam.

Jika Imam Lupa dan Melakukan Sujud Sahwi, Makmum Wajib Mengikuti Imam


Baik dalam kondisi makmum dan imam sama-sama lupa, atau imam saja yang lupa, maka jika imam melakukan sujud sahwi, makmum pun harus mengikutinya. Ibnul-Mundzir berkata dalam bukunya al-Ausath (3/322), "Semua ulama sepakat bahwa ketika imam lupa dalam shalatnya dan imam melakukan sujud sahwi, maka wajib bagi makmum untuk sujud bersamanya. Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam :

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Sesungguhnya fungsi imam itu untuk diikuti –oleh makmumnya–.”

Begitu juga karena seorang makmum adalah pengikut Imam, maka hukum makmum sama dengan hukum Imam. Oleh karena itu jika imam lupa dan melakukan sujud sahwi, maka makmum pun turut sujud sahwi, demikian juga sebaliknya".

Jika Imam Lupa dan Tidak Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Makmum Harus Melakukan Sujud Sahwi?


Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Menurut 'Atha', Hasan, Nakh'iy, Tsauri, Abu Hanifah dan para pengikutnya: Jika imam lupa dan tidak melakukan sujud sahwi, maka makmum pun tidak perlu melakukan sujud sahwi. Karena hal tersebut jika dilakukan dapat menyalahi imam (tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan imam).

Sedangkan Ibnu Sirin, Qatadah, Auza'i, Malik, Laits, Syafi'i, Abu Tsaur, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad berpendapat: Bahwa makmum tetap melakukan sujud sahwi walaupun imam tidak melakukannya. Alasannya, karena sujud sahwi itu wajib bagi imam dan makmum. Oleh karena itu, bukan berarti kewajiban sujud sahwi bagi makmum gugur karena sang imam meninggalkan apa yang diwajibkan padanya. Demikian pula karena setiap orang yang melaksanakan shalat, semua wajib melakukan hal yang fardhu, sebagaimana imam pun demikian. Maka tidak boleh sujud sahwi ini ditinggalkan kecuali dengan menunaikannya.

Apakah Makmum yang Masbuk Ikut Melakukan Sujud Sahwi bersama imam?


Apabila seseorang mengikuti sebagian shalat bersama imam, kemudian sang Imam sujud sahwi, maka dalam permasalahan ini ada empat pendapat ulama:

1. Ikut melakukan sujud bersama Imam, kemudian berdiri menyempurnakan shalatnya yang kurang. Ini merupakan pendapat Sya'bi, 'Atha', Nakh'iy, Hasan, Ahmad, Abu Tsaur, Abu Hanifah dan para pengikutnya. (Al-Ausath (3/323), kitab Masa-il Ahmad karangan Abu Daud (55), dan Al-Ashl (1/234)

2. Menyempurnakan shalatnya yang kurang, kemudian baru melakukan sujud sahwi di akhir shalat karena –hak– imamnya yang lupa. Ini pendapat Ibnu Sirin, Ishak bin Rahawiyyah. (Al-Ausath (3/323)

3. Ikut melakukan sujud bersama imam, lalu menyempurnakan shalatnya, kemudian setelah selesai shalat sujud sahwi kembali. Ini pendapat madzhab Syafi'i. (Al-Umm (1/132)

4. Jika Imam melakukan sujud sebelum salam, maka makmum yang masbuk ini ikut sujud bersama imam. Tetapi jika imam melakukan sujud sahwi setelah salam, maka makmum yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan shalatnya setelah itu baru melakukan sujud sahwi. Ini pendapat Imam Malik, Auza'iy, dan Laits bin Sa'd. (Al-Ausath (3/323), dan Al-Mudawwanah (1/139)

Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan mendapati imam dalam shalatnya sehingga ia harus turut sujud sahwi bersama imam. Dalam hal ini jumhur berpendapat: jika makmum telah mendapati bersama imam untuk mengerjakan satu rukun sebelum sujud sahwi, maka makmum haruslah mengikuti imam untuk sujud sahwi, baik imam kelupaan sebelum makmum mengikutinya atau sesudahnya. Namun ulama Malikiyyah berpendapat: jika makmum belum bersama mengikuti imam dalam satu rakaat, maka tidak perlu untuk turut sujud sahwi. penulis: inilah pendapat yang lebih jelas.

Penulis Berkata: Pendapat yang terakhir ini (ke 4) lebih bisa diterima, dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam :

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ.... وَإذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا

“Sesungguhnya imam itu untuk diikuti –oleh makmumnya–… Dan jika imam sujud, maka turutlah sujud bersamanya”

Juga sebagaimana yang telah lalu dibahas bahwa sujud sahwi sebelum salam adalah pelengkap kekurangan shalat, dengan demikian makmum harus mengikuti imam.

Sedangkan sujud sahwi setelah salam dimaksudkan penghinaan (marah) kepada setan. Maka makmum yang masbuk hendaklah melanjutkan shalatnya dan melengkapinya, kemudian di akhir shalat melakukan sujud sahwi karena imamnya telah lupa. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:

مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلَّوْا ، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Shalatlah bersama imam seberapa kamu dapat, sedangkan kekurangannya kamu sempurnakan sendiri” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (635) dan Muslim (602)

Dengan begini berarti dia telah mengikuti imamnya, karena imam melakukan sujud sahwi di akhir shalatnya, demikian juga dia.

Jika Makmum Lupa Di Belakang Imam


Jika makmum yang lupa sedangkan imam tidak, maka kealpaan makmum ditanggung oleh imam, dan makmum tersebut tidak perlu melakukan sujud sahwi. Ini pendapat jumhur ulama dari empat madzhab. Ada hadits yang membicarakan hal ini yaitu hadist marfu' dari Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ سَهْوٌ فَإِنْ سَهَا الإِمَامُ فَعَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ خَلْفَهُ السَّهْوُ وَإِنْ سَهَا مَنْ خَلْفَ الإِمَامِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ سَهْوٌ وَالإِمَامُ كَافِيهِ

“Tidak diharuskan sujud sahwi bagi yang shalat di belakang imam ketika ia lupa. Jika imam lupa, maka itu jadi tanggungannya dan makmum di belakangnya mengikuti sujud sahwi. Jika makmum yang lupa, maka tidak ada kewajiban sujud sahwi untuknya. Imam sudah mencukupinya.” (Hadits Riwayat: Darul-Quthny (1/377), dan Al-Baihaqi (2/352). Dhaif)

Meskipun hadits ini dhai'f, namun kebanyakan dari ulama mengatakan boleh mengamalkannya.
Namun menurut Ibnu Sirin, Daud, dan Ibnu Hazm mengatakan; “Diharuskan bagi makmum untuk sujud sahwi sebagaimana jika ia shalat sendiri, atau sebagaimana jadi imam. Karena perintah yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersifat umum mencakup semua yang mengalami keraguan dalam shalatnya untuk sujud sahwi, tanpa membedakan antara imam dan makmum.

Penulis Berkata: Pendapat mayoritas ulama ini lebih kuat, bukan karena adanya hadist yang marfu'. Akan tetapi sebagaimana yang dikatakan Syaikh al-Albani: "Kami tahu dengan yakin bahwa sahabat yang meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam terbiasa shalat di belakang beliau. Dan di antara mereka pasti pernah lupa dalam shalatnya, yang –kelupaan tersebut– mengharuskan mereka untuk sujud sahwi jika mereka shalat sendirian. (Irwa' al-Ghalil (2/132) Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapa pun, jika saja hal tersebut terjadi, tentu terdapat nukilan riwayat yang menceritakan sahabat melakukan sujud sahwi setelah Rasulullah salam, dan seandainya hal tersebut disyari'atkan, tentunya para sahabat akan melakukannya. Dan jika para sahabat melakukannya, tentnu mereka akan menukilnya. Namun jika tidak ada riwayat tentang hal itu, maka menunjukkan bahwa dalam kondisi makmum saja yang lupa tanpa imam, maka tidak disyariatkan makmum untuk sujud sahwi. Ini adalah penjelasan yang sangat jelas –insya Allah Ta'ala– Dan hal ini telah dikuatkan dengan hadits Mu'awiyah bin al-Hakam as-Sulami bahwasanya ia –saat shalat– berbicara di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam karena tidak tahu. Namun  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk sujud sahwi."

Tata Cara Sujud Sahwi


Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah salam–. Lalu mengucapkan lafadz takbir (Allahu Akbar) baik ketika hendak turun sujud maupun bangkit dari sujud.

Cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Buhainah radhiallahu 'anhuma :

فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ: يكَبَّر فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.”

Sedangkan cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu :

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ

“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudian beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.”

Apakah Sujud Sahwi Ada Takbiratul Ihram?


Sujud sahwi tidak perlu diawali dengan takbiratul ihram, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Fathul-Bari (3/99) Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits mengenai sujud sahwi yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara dzahir sujud sahwi cukup dengan takbir ketika sujud saja.

Menurut Imam Malik: “Diharuskan melakukan takbiratul ihram sebelum sujud sahwi dengan landasan tambahan redaksi dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah saat mengisahkan Dzul-Yaddain: "Bahwa beliau (Rasulullah) takbir kemudian sujud", menurut Hisyam yaitu Ibnu Hasan: Beliau takbir, kemudian takbir lagi, setelah itu sujud. Namun tambahan redaksi ini menyimpang, sehingga tidak dapat dijadikan landasan.

Ibnu Abdil-Barr berkata: "Salamnya –dari shalat yang belum sempurna– dikarenakan lupa, tidaklah menjadikannya keluar dari shalat. Inilah pendapat kami dan jumhur ulama, demikian juga hal tersebut tidaklah merusak shalat. Dan jika di dalam shalatnya mendasarkan atasnya, maka takbiratul ihram tidaklah bermakna, karena dia tidak sedang memulai shalat baru, tetapi dia sedang menyempurnakan shalat yang ia dasarkan atasnya. Namun seseorang melakukan takbiratul ihram itu tatkala ingin memulai shalatnya dan membukanya." (Al-Istidzkar (4/345)

Adapun salam setelah sujud sahwi, hal ini telah dijelaskan dalam hadist Dzul-Yaddain, Juga hadits Ibnu Masu'd dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau shalat lima rakaat, begitu juga sebagaimana dijelaskan dalam hadits Imran bin Hushain dengan redaksi:

فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ

“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.”

Apakah Harus Tasyahud Setelah Sujud Sahwi?


Dalam masalah ini ada empat pendapat ulama. Di antara empat pendapat ini, ada yang mengatakan harus tasyahud, tidak harus tasyahud, boleh memilih antara melakukan tasyahud dan meninggalkannya dan pendapat terakhir dengan membedakan antara sujud sahwi sebelum salam atau setelah salam. Jika sujud sahwinya setelah salam, maka ada tasyahhud setelah sujud sahwi, akan tetapi jika sujud sahwinya sebelum salam maka tidak ada tasyahud setelah sujud sahwi. (Al-Ausath karangan Ibnu Mundzir (3/314-317) Namun pendapat yang paling kuat di antara ulama yang ada adalah yang mengatakan; tidak perlu tasyahud setelah sujud sahwi. Karena tidak adanya dalil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa dijadikan pegangan bagi yang berpendapat adanya tasyahud setelah sujud, adalah hadits Imran bin Hushain:

 أنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّي بِهِمْ فَسَهَا, فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ, ثُمَّ تَشَهَّدَ, ثُمَّ سَلَّمَ

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama mereka, kemudian beliau lupa, setelah itu beliau sujud dua kali, lalu tasyahud dan kemudian salam.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (1039), At-Tirmidzi (395), Ibnul-Jarud (247) dan yang lainnya. Hadits Syadz. Namun Al-Baihaqi menyatakannya Dha'if)

Namun hadist ini syadz tidak shahih. Oleh karena itu, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah (23/48) berkata, "Sesungguhnya terdapat hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa bukan hanya sekali beliau sujud sahwi setelah salam, sebagaimana dalam hadits Ibnu Masu'd ketika beliau shalat lima rakaat, juga dalam hadits Abu Hurairah yaitu hadits Dzul-Yaddain, juga dalam hadist Imran bin Hushain. Tidak ada satu perintah pun dari perkataan beliau untuk melakukan  tasyahud setelah sujud sahwi. Juga tidak ada satu pun hadits shahih yang membicarakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan tasyahud setelah sujud sahwi. Jika memang hal ini disyariatkan, maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dengan dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat yang meriwayatkan beliau sujud tentunya akan meriwayatkan bahwa beliau melakukan tasyahud juga. Dan pendorong meriwayatkan tasyahud tersebut tentunya lebih kuat daripada pendorong untuk meriwayatkan salam serta mengucapkan takbir baik ketika hendak sujud ataupun setelah sujud, karena seluruh amalan ini merupakan amalan singkat, sedangkan tasyahud adalah amalan yang cukup lama. Dengan demikian bagaimana mungkin para sahabat meriwayatkan amalan Rasulullah yang singkat ini (seperti salam dan takbir) namun tidak menukil perbuatan yang lama tersebut (yaitu tasyahud)." begitu juga dengan Ibnu Abdil-Barr Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Termasuk al-Albani dalam kitabnya Irwa' al-Ghalil (403)

Penutup


Demikian penjelasan lengkap seputar sujud sahwi dalam shalat semoga artikel ini bermanfaat untuk segenap kaum muslimin yang sedang belajar dan memperdalam ilmu agama islam. Sebagai tambahan anda juga bisa baca artikel tentang Sujud Syukur dan Sujud tilawah. Ikuti terus website edumuslim.org untuk mendapatkan update artikel lainnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama